Melihatnya tertidur pulas membuatku tersadar bahwa
ada yang belum sempat kuucapkan, sejenak aku melangkah mendekatinya dan kukecup
kening mungilnya. Kupandang wajah polosnya tergurat senyum bahwa ia nyaman
dengan tidurnya.
“Maafin bunda ya nak, pulangnya malem jadi gak
bisa maen sama ean”, ucapku lembut. Seolah mendengar bisikanku raihan hanya mengangguk
dengan mata terpejam tanda bahwa ia memahamiku. “Duh” batin ini menjerit ingin
sekali menemaninya sepanjang waktu, mendengar celoteh dari mulut kecilnya,
bermain bersamanya dan melihat perkembangannya setiap saat. Tapi apa mau dikata
beginilah sebuah hidup yang harus dijalani disebuah kota besar, bergulat dengan
waktu mengejar impian dan harapan yang tinggi sesuai dengan biaya hidup yang
terus melambung.
Tak bisa kupungkiri ada rasa sesal tiap kali
melihatnya harus ikut terbangun dan mengantarkan kepergianku bekerja, walaupun
belum tentu saat malam dia bisa bermain denganku karena lelah dan penat karena
jauhnya jarak yang kutempuh antara kantor dan tempat tinggalku.
Segera kuberanjak dari samping tidurnya untuk
bergegas membersihkan diri dari debu dan asap polusi yang menempel, berjalan
mengambil handuk buat mandi. Hari ini seperti hari-hari sebelumnya, berangkat pagi
ke kantor dan pulang malam karena jauhnya jarak yang kutempuh dan bergumul
dengan kemacetan ibu kota. Kulihat suamiku masih melihat acara televisi saat
hendak masuk kekamar mandi.
“Ayah dah mandi belum?” pertanyaan yang biasa
kuutarakan jika melihatnya masih menggunakan kaos yang kemarin. Huuh..kebiasan
baik atau buruk ya, mungkin hanya dia yang tau. Sebetulnya aku memahami betapa
suamiku tidak ingin melihatku terlalu capek dirumah jika banyak menumpuk
pakaian kotor, karena aku sendiri adalah tipe orang bawel jika sekelilingku
berantakan.
“Udah emang gak keliatan aku wangi, enak aja!”
sungut dia sambil menatap dengan tajam lalu berpaling ke televisi kembali
melihat acara gak jelas menurutku.
“enak bun?” tanya suamiku, karena ia tahu makanan
kesukaanku.
“Gak enak, biasanya sambil nyuapin si unyil eh ini
malah makan sendiri” ucapku tersipu.
“halah...aku kan tau kamu bun, gak enak ko
tulangnya bersih begitu” ledek suamiku lalu kita tertawa bersama.
Kunikmati segalanya yang telah diberikan olehNya,
rasa syukurku atas suami yang walaupun selalu membuatku kesal karena
kelakuannya yang tengil, anak yang sehat dan menggemaskan. Tapi sebagai seorang
ibu terkadang ada rasa ingin mencari lahan penghasilan yang jauh lebih baik
dari sekarang. Dari segi waktu yang tidak terlalu lama, jarak yang singkat dan
nominal yang kudapat. Namun semakin aku memikirkannya semakin aku menyadari
bahwa itu tidak mudah apalagi harus memulainya dari awal, bersaing dengan
generasi yang lebih muda, beradaptasi dengan lingkungan baru, dan yang lebih
bisa kupahami lewat rasa syukurku ialah mencoba untuk lebih menerima dan
menikmati karena masih banyak diluar sana yang masih dibawahku dari segi
penghasilan, keluarga dan lainnya.
**
Hari sabtu dan minggu selalu aku nantikan karena
dua hari itu aku bisa menyalurkan hobi memasak, dimulai dari berbelanja
ditemani sikecil, kemudian acara memandikan dia sampai membereskan rumah.
Kunikmati indahnya menjadi ibu rumah tangga walaupun kenikmatan itu sedikit
terganggu oleh ramainya ibu-ibu ngerumpi disela-sela jam makan siang. Ampun deh
kalau pemimpinnya keluar dengan menggendong anak bungsunya yang baru lahir,
serentak yang lain ikutan nimbrung dan bahan obrolan itu selalu ada. Aku tahu
karena letak dapur itu tepat di arah depan rumah tanpa pagar dan hanya dibatasi
jendela karena rumah kontrakanku persis jalan setapak dimana mereka akan
bersandar tepat disebelah tembok dapurku. Kebetulan saat ini kami masih
terpaksa ngontrak sama seperti pasangan muda yang lain, karena harus
mengumpulkan koin demi koin untuk bisa membeli rumah.
“Ayah, tuh arisan uda dimulai” bisikku ke arah
suamiku yang kebetulan ke dapur, dan hanya angggukan yang kudapat.
Oalah dongkolnya hati ini, aku hanya bisa
tersenyum kecut atas respon suamiku.
“Bunda, ngapain si di dapur? ean laper ni”
tiba-tiba anakku muncul dari balik paha ayahnya dan untungnya hampir selesai
aku memasak sayur sop untuknya.
“ Oke deh, ean laper ya..tunggu bentar ya, masih
panas sayang” sambil kugendong mesra tubuh mungilnya dan kubawa segera ke kamar
karena dulu pernah saat aku sibuk memasak kaki kirinya terantuk besi sandaran
roda kulkas dan hingga saat ini bekas lukanya masih timbul akibat keloid yang
menurun dariku. Pipi tembemnya masih enak kucium dan kunyalakan televisi untuk
mengalihkan pikirannya ke dapur.
“Ean, tunggu disini ya nanti bunda ambilkan makananannya”
ucapku sambil kebelai rambut ikalnya.
“Jangan lama-lama ya”rengeknya sambil merebahkan
tubuhnya dikasur yang sengaja kubiarkan tergeletak dilantai tanpa tempat tidur.
“sip” dan aku segera meluncur kedapur untuk segera
kuselesaikan masakan untuknya. Sebetulnya aku tidak terlalu jago untuk memasak,
itu semua karena kebetulan orang tuaku yang membiarkan anaknya kedapur dan
melihat aktivitas ibunya. Dan aku sangat menyukainya entah hasilnya enak atau
hambar yang penting cooking is my hobby,
dan aku selalu mendesak suamiku untuk selalu memuji masakanku walaupun
sebenernya dia eneg juga.
Daaaaraaa...menu hari ini sayur sop, tempe goreng,
telor dadar dan sambel jeruk nipis, sudah membuatku merasa menjadi ibu yang
hebat, maklumlah selama hari senin hingga jumat yang menjadi menu makananku
bukanlah menu rumahan tapi instan yang langsung kubeli di pinggir jalan. Ehmmm
sudah membuatku ingin segera menyantap bersama keluarga kecilku.
“Ean makan yuk,aamm” segera kusuapi dengan sendok
setelah uap panasnya menghilang.
“enak, mantap” puji anakku tercinta jempol tangan
kanan ke depan .Oohh bahagianya hatiku dipuji anak sendiri, kalau suamiku yang
memuji ah tak peduli karena aku jarang dipuji kecuali dipaksa.
Bahagianya seorang ibu jika semua yang dimasak
dimakan buah hatinya dan orang-orang yang tercinta, mungkin inilah yang dirasakan
ibuku dulu saat aku kecil dan sekarang aku alami sendiri pengalaman itu. Dan
alangkah beruntungnya wanita yang mau secara tulus mendedikasikan dirinya utuh
untuk menjadi seorang ibu rumah tangga, tanpa harus memikirkan biaya bagaimana
anak-anak mereka bisa terus bersekolah sesuai keinginannya dan memikirkan
keuangan keluarga. Karena ketakutan seorang ibu rumah tangga yang juga menjadi
pertimbanganku untuk memutuskan mengakhiri pekerjaan dikantor ialah bagaimana
nanti biaya untuk sekolah anak-anak mereka, apakah suami kita akan terus
mencintai dan setia dalam ikatan pernikahan tanpa ada pihak ketiga, dan
bagaimana seorang wanita ingin membantu
orang tuanya jika ada kesulitan dalam hal keuangan atau jika pasangan kita
tiba-tiba dipanggil yang Kuasa. Memang sebuah kehidupan yang kita jalani di
dunia sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa, manusia hanya bisa berencana dan
Tuhanlah yang menentukan. Namun segalanya perlu dipersiapkan dan
diperhitungkan, segalanya akan indah pada waktunya saat aku telah menjalaninya.
Sebuah Catatan kecil untuk Raihan Anakku yang saat kutuliskan cerita ini
sedang terbaring dalam pemulihan pasca operasi Tumor usus halus (Tumor
Intraluminer Duodenum Dsital). 01-08-2012...Love U Full
Tidak ada komentar:
Posting Komentar