Minggu, 19 Mei 2013

Indah Pada Waktunya


Melihatnya tertidur pulas membuatku tersadar bahwa ada yang belum sempat kuucapkan, sejenak aku melangkah mendekatinya dan kukecup kening mungilnya. Kupandang wajah polosnya tergurat senyum bahwa ia nyaman dengan tidurnya.

“Maafin bunda ya nak, pulangnya malem jadi gak bisa maen sama ean”, ucapku lembut. Seolah mendengar bisikanku raihan hanya mengangguk dengan mata terpejam tanda bahwa ia memahamiku. “Duh” batin ini menjerit ingin sekali menemaninya sepanjang waktu, mendengar celoteh dari mulut kecilnya, bermain bersamanya dan melihat perkembangannya setiap saat. Tapi apa mau dikata beginilah sebuah hidup yang harus dijalani disebuah kota besar, bergulat dengan waktu mengejar impian dan harapan yang tinggi sesuai dengan biaya hidup yang terus melambung.
Tak bisa kupungkiri ada rasa sesal tiap kali melihatnya harus ikut terbangun dan mengantarkan kepergianku bekerja, walaupun belum tentu saat malam dia bisa bermain denganku karena lelah dan penat karena jauhnya jarak yang kutempuh antara kantor dan tempat tinggalku.

Segera kuberanjak dari samping tidurnya untuk bergegas membersihkan diri dari debu dan asap polusi yang menempel, berjalan mengambil handuk buat mandi. Hari ini seperti hari-hari sebelumnya, berangkat pagi ke kantor dan pulang malam karena jauhnya jarak yang kutempuh dan bergumul dengan kemacetan ibu kota. Kulihat suamiku masih melihat acara televisi saat hendak masuk kekamar mandi.
“Ayah dah mandi belum?” pertanyaan yang biasa kuutarakan jika melihatnya masih menggunakan kaos yang kemarin. Huuh..kebiasan baik atau buruk ya, mungkin hanya dia yang tau. Sebetulnya aku memahami betapa suamiku tidak ingin melihatku terlalu capek dirumah jika banyak menumpuk pakaian kotor, karena aku sendiri adalah tipe orang bawel jika sekelilingku berantakan.
“Udah emang gak keliatan aku wangi, enak aja!” sungut dia sambil menatap dengan tajam lalu berpaling ke televisi kembali melihat acara gak jelas menurutku.

Menu makan malamku yang paling gampang dan mengenyangkan ialah pecel lele yang ternyata satu hobi dengan anakku raihan, sayang karena ia sudah terlelap akhirnya dengan sangat terpaksa dan senang hati kulahap dengan semangat membara.

“enak bun?” tanya suamiku, karena ia tahu makanan kesukaanku.
“Gak enak, biasanya sambil nyuapin si unyil eh ini malah makan sendiri” ucapku tersipu.
“halah...aku kan tau kamu bun, gak enak ko tulangnya bersih begitu” ledek suamiku lalu kita tertawa bersama.

Kunikmati segalanya yang telah diberikan olehNya, rasa syukurku atas suami yang walaupun selalu membuatku kesal karena kelakuannya yang tengil, anak yang sehat dan menggemaskan. Tapi sebagai seorang ibu terkadang ada rasa ingin mencari lahan penghasilan yang jauh lebih baik dari sekarang. Dari segi waktu yang tidak terlalu lama, jarak yang singkat dan nominal yang kudapat. Namun semakin aku memikirkannya semakin aku menyadari bahwa itu tidak mudah apalagi harus memulainya dari awal, bersaing dengan generasi yang lebih muda, beradaptasi dengan lingkungan baru, dan yang lebih bisa kupahami lewat rasa syukurku ialah mencoba untuk lebih menerima dan menikmati karena masih banyak diluar sana yang masih dibawahku dari segi penghasilan, keluarga dan lainnya.
**
Hari sabtu dan minggu selalu aku nantikan karena dua hari itu aku bisa menyalurkan hobi memasak, dimulai dari berbelanja ditemani sikecil, kemudian acara memandikan dia sampai membereskan rumah. Kunikmati indahnya menjadi ibu rumah tangga walaupun kenikmatan itu sedikit terganggu oleh ramainya ibu-ibu ngerumpi disela-sela jam makan siang. Ampun deh kalau pemimpinnya keluar dengan menggendong anak bungsunya yang baru lahir, serentak yang lain ikutan nimbrung dan bahan obrolan itu selalu ada. Aku tahu karena letak dapur itu tepat di arah depan rumah tanpa pagar dan hanya dibatasi jendela karena rumah kontrakanku persis jalan setapak dimana mereka akan bersandar tepat disebelah tembok dapurku. Kebetulan saat ini kami masih terpaksa ngontrak sama seperti pasangan muda yang lain, karena harus mengumpulkan koin demi koin untuk bisa membeli rumah.

“Ayah, tuh arisan uda dimulai” bisikku ke arah suamiku yang kebetulan ke dapur, dan hanya angggukan yang kudapat.
Oalah dongkolnya hati ini, aku hanya bisa tersenyum kecut atas respon suamiku.
“Bunda, ngapain si di dapur? ean laper ni” tiba-tiba anakku muncul dari balik paha ayahnya dan untungnya hampir selesai aku memasak sayur sop untuknya.
“ Oke deh, ean laper ya..tunggu bentar ya, masih panas sayang” sambil kugendong mesra tubuh mungilnya dan kubawa segera ke kamar karena dulu pernah saat aku sibuk memasak kaki kirinya terantuk besi sandaran roda kulkas dan hingga saat ini bekas lukanya masih timbul akibat keloid yang menurun dariku. Pipi tembemnya masih enak kucium dan kunyalakan televisi untuk mengalihkan pikirannya ke dapur.
“Ean, tunggu disini ya nanti bunda ambilkan makananannya” ucapku sambil kebelai rambut ikalnya.
“Jangan lama-lama ya”rengeknya sambil merebahkan tubuhnya dikasur yang sengaja kubiarkan tergeletak dilantai tanpa tempat tidur.
“sip” dan aku segera meluncur kedapur untuk segera kuselesaikan masakan untuknya. Sebetulnya aku tidak terlalu jago untuk memasak, itu semua karena kebetulan orang tuaku yang membiarkan anaknya kedapur dan melihat aktivitas ibunya. Dan aku sangat menyukainya entah hasilnya enak atau hambar yang penting cooking is my hobby, dan aku selalu mendesak suamiku untuk selalu memuji masakanku walaupun sebenernya dia eneg juga.

Daaaaraaa...menu hari ini sayur sop, tempe goreng, telor dadar dan sambel jeruk nipis, sudah membuatku merasa menjadi ibu yang hebat, maklumlah selama hari senin hingga jumat yang menjadi menu makananku bukanlah menu rumahan tapi instan yang langsung kubeli di pinggir jalan. Ehmmm sudah membuatku ingin segera menyantap bersama keluarga kecilku.
“Ean makan yuk,aamm” segera kusuapi dengan sendok setelah uap panasnya menghilang.
“enak, mantap” puji anakku tercinta jempol tangan kanan ke depan .Oohh bahagianya hatiku dipuji anak sendiri, kalau suamiku yang memuji ah tak peduli karena aku jarang dipuji kecuali dipaksa.

Bahagianya seorang ibu jika semua yang dimasak dimakan buah hatinya dan orang-orang yang tercinta, mungkin inilah yang dirasakan ibuku dulu saat aku kecil dan sekarang aku alami sendiri pengalaman itu. Dan alangkah beruntungnya wanita yang mau secara tulus mendedikasikan dirinya utuh untuk menjadi seorang ibu rumah tangga, tanpa harus memikirkan biaya bagaimana anak-anak mereka bisa terus bersekolah sesuai keinginannya dan memikirkan keuangan keluarga. Karena ketakutan seorang ibu rumah tangga yang juga menjadi pertimbanganku untuk memutuskan mengakhiri pekerjaan dikantor ialah bagaimana nanti biaya untuk sekolah anak-anak mereka, apakah suami kita akan terus mencintai dan setia dalam ikatan pernikahan tanpa ada pihak ketiga, dan bagaimana seorang  wanita ingin membantu orang tuanya jika ada kesulitan dalam hal keuangan atau jika pasangan kita tiba-tiba dipanggil yang Kuasa. Memang sebuah kehidupan yang kita jalani di dunia sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa, manusia hanya bisa berencana dan Tuhanlah yang menentukan. Namun segalanya perlu dipersiapkan dan diperhitungkan, segalanya akan indah pada waktunya saat aku telah menjalaninya.






Sebuah Catatan kecil untuk Raihan Anakku yang saat kutuliskan cerita ini sedang terbaring dalam pemulihan pasca operasi Tumor usus halus  (Tumor Intraluminer Duodenum Dsital). 01-08-2012...Love U Full

Tidak ada komentar:

Posting Komentar